sejarah kelas XI IPA pertempuran lima hari semarang


Pertempuran Lima Hari di Semarang

Posted on June 17, 2007
Bermula dari tentara Jepang yang masih bercokol di wilayah Semarang meskipun Soekarno – Hatta atas nama Bangsa Indonesia telah mengumumkan kemerdekaan Indonesia melalui Proklamasi. Pada hari yang sama berita proklamasi tersebut tersiar juga siang harinya di Mesjid Kauman sebelum khotbah sholat jumat dilaksanakan.

Bulan-bulan berikutnya tentara Jepang makin gelisah menghadapi keadaan yang semakin genti setelah tertembaknya seorang pejabat kesehatan, Dokter Kariadi. Tentara Jepang memutuskan bertindak dengan pertimbangan lebih baik menyerang terlebih dahulu daripada diserang oleh para pemuda Semarang.

Tanggal 14 Oktober 1945, pergerakan tentara Jepang dari Markas Kido Butai di Jatingaleh (sekarang digunakan sebagai markas RPKAD sekarang digunakan sebagai markas Yon Arhanud 15) sebagai awal Pertempuran Lima Hari di Semarang dimulai. Formasi siap tempur tentara Jepang adalah:

  • Pasukan tempur anak buah dari Mayor Yagi, sebanyak 472 orang
  • Kompi meriam dipimpin oleh Kapten Fukuda, sebanyak 66 orang
  • Kompi 9 dipimpin oleh Kapten Motohiro, sebanyak 155 orang
  • Kompi 10 dipimpin oleh Kapten Nakasima, sebanyak 155 orang
  • Pasukan cadangan, dipimpin oleh Kapten Yamada, sebanyak 101 orang

Pergerakan formasi tentara Jepang meyerang Kota Semarang sebagai berikut. Mayor Yagi akan bertugas disebelah kiri dengan sasaran Markas BKR, Polisi, Jalan Pemuda, sebelah kiri dan kanan jalan dan seterusnya memelihara keamanan di daerah itu. Kompi 9 dan kompi 10 akan bergerak ke kanan dengan sasaran utama penjara Mlaten, sekolah dagang dan terus menuju Demak.

Tentu saja pegerakan tentara Jepang ini mendapat perlawanan seluruh penduduk Semarang. Semarang diberbagai tempat terjadi perlawanan hebat. Para pejuang bersatu untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih sampai titik darah penghabisan. Menurut catatan sejarah, pertempuran mereda pada tanggal 19 Oktober 1945. Oleh bangsa Indonesia, peristiwa itu dikenang sebagai peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang

Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia

Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Perjuangan Pemuda Semarang

Berita Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

[sunting] Sumber Air Minum Diracuni

Setelah pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Dr. Kariadi Terbunuh

Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

Kejadian ini merupakan penyulut utama Perang Lima Hari di Semarang.

Perang Berkecamuk

Sekitar pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.

Peringatan

Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan.

RESERVOIR SIRANDA

Tapak bangunan ini berarda di pertigaan Jalan Diponegoro.
Keseluruhan bangunan berupa kubah dengan menara copula diatasnya.
Sebagai pintu masuk adalah dinding yang dipertinggi dan membentuk gerbang
dengan detail-detail berbentuk lengkung busur.
Diatasnya bertuliskan Reservoir Siranda serta angka tahun pembangunannya.
Pada kiri kanannya terdapat sayap dari batu berbentuk segitiga dengan ornamen
motif geometris.
Dinding sebagai pintu masuk kedalam kubah berjumlah dua buah yang
masing-masing menghadap Jalan Diponegoro dan Jalan Wungkal.

Pondasi bangunan dari batu kali. Bagian kaki bangunan diekspose berbentuk
pagar batu dari batu kali. Bangunan kubah tertutup dengan rumput kecuali pada
cupola.
Dinding entrance dari batu bata yang ditutup dengan plester. Pintu masuk
berambang atas lengkung dan dibuat serangkai dengan ventilasi diatas pintu. Daun
pintu bertipe ganda dengan panel krepyak kayu.
Pintu diapit oleh jendela yang disangga dan berambang atas lengkung. Daun
jendela berpanel krepyak kayu dengan daun ganda. Bangunan reservoir ini
dikelilingi oleh pagar pembatas dari besi dengan pintu gerbang dengan bentuk
dasar serupa dengan dinding entrance.

Bukaan pintu gerbang berambang atas lengkung archivolt trim dengan pintu
gerbang dari besi sebagai tambahan. Bagian cupola ditutup dengan atap kerucut
dengan bahan seng. Disekelilingnya terdapat jendela krepyak. Tapak bangunan
Siranda ini terletak di daerah yang berbukit-bukit serta dipisahkan oleh jalan
kecil yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi dengan Jalan Raya Diponegoro. Dari
kejahuan bangunan ini tidak tampak sebagai bangunan yang masif tetapi lebih
menampakan sebagai taman dengan bentuk kubah dan pintu gerbang yang berbentuk
unik.

Reservoir Siranda dibangun pada tahun 1912 dan difungsikan sebagai tempat
penampung air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Semarang. Selain itu bangunan
ini mempunyai nilai historis yang tinggi karena diyakini sebagai tempat tewasnya
Dr. Kariadi oleh tentara Jepang. Bermula dari tersebarnya kabar bahwa
penampungan air atau Reservoir Siranda akan diracuni oleh tentara Jepang sebagai
upaaya Jepang untuk menguasai Kota Semarang.

Dr. Kariadi,
seorang dokter muda di Semarang berusaha untuk menyelidiki kebenaran kabar
tersebut dengan memeriksa di sekitar Reservoir Siranda.
Namun di dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dengan tentara Jepang
disekitar Reservoir Siranda, Dr. Kariadi terbunuh.
Kejadian ini merupakan penyulut Perang Lima Hari di Semarang. Nama Dr. Kariadi
sendiri kemudian diabadikan sebagai nama sebuah Rumah Sakit di Jl. Dr.Sutomo
Semarang.

***
PERTEMPURAN 5 HARI DI SEMARANG

” Bangunan itu tidak tinggi tapi tepat di tengah kota sekaligus menjadi ciri
khusus
kebanggaan warga Semarang : Tugu Muda,
di balik tugu sederhana ini menyimpan cerita perlawanan yang gigih “( ADI )

Bermula dari tentara Jepang yang masih bercokol di wilayah Semarang meskipun
Soekarno – Hatta atas nama Bangsa Indonesia telah mengumumkan kemerdekaan
Indonesia melalui Proklamasi. Pada hari yang sama berita proklamasi tersebut
tersiar juga siang harinya di Mesjid Kauman sebelum khotbah sholat jumat
dilaksanakan.

Bulan-bulan berikutnya tentara Jepang makin gelisah menghadapi keadaan yang
semakin genti setelah tertembaknya seorang pejabat kesehatan, Dokter Kariadi.
Tentara Jepang memutuskan bertindak dengan pertimbangan lebih baik menyerang
terlebih dahulu daripada diserang oleh para pemuda Semarang.

Tanggal 14 Oktober 1945, pergerakan tentara Jepang dari Markas Kido Butai di
Jatingaleh (sekarang digunakan sebagai markas RPKAD) sebagai awal Pertempuran
Lima Hari di Semarang dimulai.

Formasi siap tempur tentara Jepang adalah:
Pasukan tempur anak buah dari Mayor Yagi, sebanyak 472 orang
Kompi meriam dipimpin oleh Kapten Fukuda, sebanyak 66 orang
Kompi 9 dipimpin oleh Kapten Motohiro, sebanyak 155 orang
Kompi 10 dipimpin oleh Kapten Nakasima, sebanyak 155 orang
Pasukan cadangan, dipimpin oleh Kapten Yamada, sebanyak 101 orang

Pergerakan formasi tentara Jepang meyerang Kota Semarang sebagai berikut.
Mayor Yagi akan bertugas disebelah kiri dengan sasaran Markas BKR, Polisi, Jalan
Pemuda, sebelah kiri dan kanan jalan dan seterusnya memelihara keamanan di
daerah itu. Kompi 9 dan kompi 10 akan bergerak ke kanan dengan sasaran utama
penjara Mlaten, sekolah dagang dan terus menuju Demak.

Tentu saja pegerakan tentara Jepang ini mendapat perlawanan seluruh penduduk
Semarang. Semrang diberbagai tempat terjadi perlawanan hebat. Para pejuang
bersatu untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih sampai titik
darah penghabisan. Menurut catatan sejarah, pertempuran mereda pada tanggal 19
Oktober 1945. Oleh bangsa Indonesia, peristiwa itu dikenang sebagai peristiwa
Pertempuran Lima Hari di Semarang.

***
DR KARIADI

“Orang Semarang lebih mengenalnya sebagai nama rumah sakit ketimbang
sejarah perjuangan …” ( ADI )

Hanya Diundang ke Semarang untuk Dua Acara
Tak banyak publik di Semarang yang mengenal nama dokter Kariadi. Pahlawan yang
berjuang menyelamatkan Reservoir Siranda dari usaha pembunuhan masal dengan
racun oleh tentara Jepang itu kini hanya namanya yang diabadikan.

IRONISNYA, perjuangan dr Kariadi itu hanya dihargai sebuah medali bintang
kebaktian sosial yang didapat secara anumerta. Keluarga yang ditinggalkan pun
memilih hijrah ke Jawa Barat dan hidup sebagai warga biasa tanpa fasilitas dan
perhatian dari pemerintah.
Sedikit sekali peninggalan sejarah yang menceritakan perjuangan dr Kariadi.

Sampai-sampai Chusnul Hayati, dosen ilmu sejarah Undip, harus bekerja
ekstrakeras untuk mendapatkan catatan sejarah tentang dokter kelahiran
Singosari, Malang, Jawa Timur, itu.
Usahanya justru banyak tertolong setelah bertemu dengan Prof Dr dr Sri
Haryati, putri bungsu dr Kariadi. Haryatilah yang selama ini setia mengumpulkan
lembar demi lembar kliping yang memuat tentang ayahnya.

Memang hanya itulah yang bisa dilakukan untuk mengabadikan kenangan tentang
laki-laki yang pernah menjadi kepala keluarganya tersebut. Saat dr Kariadi gugur
dalam pertempuran dengan Jepang, Haryati masih sangat kecil.

Dia waktu itu baru berusia lima tahun. Haryati hanya bisa mengingat janji sang
ayah yang akan membelikan es krim saat pulang nanti. Sayang, janji tersebut tak
pernah dipenuhi karena Jepang telanjur membunuh ayahnya.

Kenangan yang tak kalah pedih dialami Kartini, putri sulung dr Kariadi.
Sebagai anak sulung, dialah yang paling ingat detik-detik menjelang kepergian
sang ayah untuk selamanya.
Masih jelas di ingatan Kartini, Sunarti -ibunya- meminta agar sang ayah
membatalkan niat untuk mengawasi- Reservoir Siranda yang waktu itu dikabarkan
akan diracun Jepang.
Tetapi, rupanya niat dr Kariadi tak bisa dibendung ehingga dia nekat menumpang
truk milik pemuda pejuang untuk bersama-sama menuju Reservoir Siranda.

“Sebenarnya, saya punya firasat dan mami sudah melarang. Karena itu, ketika
papi tak pulang-pulang, saya ikut gelisah dan khawatir terjadi apaapa. Ternyata,
memang benar,” ceritanya mengungkapkan kenangan pahit sebelum ayahnya gugur.

Meski menjadi putri tertua, Kartini yang sempat didampingi ayahnya selama
sebelas tahun mengaku tak punya banyak kenangan manis. Maklum, saat itu zaman
perjuangan dan semuanya hidup serbasusah.
Apalagi sang ayah yang memiliki dedikasi besar terhadap masalah kesehatan
masyarakat kecil memilih untuk tinggal berpindah-pindah tempat. Daerah yang
dipilih pun umumnya pedesaan dan terpencil. “Tidak banyak yang saya ingat karena
papi itu sibuk dan jarang di rumah. Sehingga kami jarang kumpul,” tutur Kartini.

Dokter Kariadi memang terkenal sebagai dokter yang gemar bereksperimen. Hampir
sebagian besar waktunya dihabiskan di laboratorium. Dia berhasil menemukan
minyak kenanga yang berguna untuk pengobatan.
Setelah pendidikan kedokterannya dirampungkan dalam waktu 10 tahun, dia hijrah
ke Irian Barat seorang diri. Dia meninggalkan ketiga putranya hanya bersama
Sunarti yang saat itu tengah merampungkan pendidikan kedokteran gigi.

Dalam pengabdiannya untuk masyarakat Irian Barat, dr Kariadi juga menemukan
spesies nyamuk yang menyebabkan penyakit malaria. Sayangnya, penemuan itu
diklaim sebagai penemuan pimpinannya. “Setelah mami lulus kuliah kedokteran,
kami menyusul ke Irian,” lanjut Kartini.

Masa kecil mereka sewaktu tinggal di Irian Barat masih diabadikan dengan rapi
dalam foto-foto keluarga. Gambar hitam putih itu tersimpan bersama file-file
tentang dr Kariadi yang dikumpulkan Sri Haryati.
Di antara ketiga kakak beradik keturunan dr Kariadi itu, hanya Sri Haryati
yang mewarisi ilmu ayahnya. Kartini mengaku tak sempat mengenyam pendidikan
tinggi karena hidup berpindah-pindah saat perang. Satu-satunya putra dr Kariadi
yang bernama Kartono memilih mendalami teknik dan meraih gelar insinyur.
“Saya juga ndak tahu, padahal kakek dan paman dari pihak papi juga dokter.
Tapi, anak cucunya kok tidak ada yang tertarik. Cuma saya yang mendaftar sekolah
dokter di Undip dan akhirnya diterima,” cerita Sri Haryati yang kini meneruskan
jejak sang ibu, mengabdikan diri di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

Meski begitu, profesi dokter justru diakui bukan cita-citanya sejak kecil.
selepas SMA, Haryati sebenarnya lebih tertarik untuk mempelajari ilmu
jurnalistik atau sejarah. Sayangnya, waktu itu belum banyak sekolah yang
menyediakan jurusan sesuai keinginannya. Karena itu, dia memilih sekolah dokter.
Selepas kepergian ayahnya, keluarga dr Kariadi mengaku tak pernah menggunakan
jasa sang ayah untuk memuluskan jalan. Diterimanya Haryati sebagai mahasiswa
Undip juga merupakan hasil kerja keras sendiri.
“Nggak ada yang tahu saya putra d. Kariadi. Penghargaan papi juga tidak ada.
Setelah papi meninggal, kami ini tak ada rumah. Semua kan milik dinas,” ujar
profesor di bidang penyakit dalam itu.

Haryati sebenarnya juga heran, sejak kepergian ayahnya, tak ada perhatian
sedikit pun dari pemerintah untuk keluarganya. Bahkan di Semarang, namanya bisa
dibilang tak dikenal.
Satu-satunya penghormatan untuk keluarga dr Kariadi hanya didapat menjelang
peringatan pertempuran lima hari di Semarang yang mengakibatkan sang ayah gugur
serta ketika RS dr Kariadi berulang tahun.

Saat itulah, baru pihak rumah sakit menghubunginya untuk memberikan sambutan
dalam rangka peringatan ulang tahun. Selain itu, tak ada seorang pun yang
tertarik untuk menggali informasi tentang ayahnya. Bahkan, sewaktu kuliah,
Haryati sedih ketika pemerintah memberikan kesempatan studi ke Jepang untuk
beberapa temannya.
Untungnya, sang ibu membiasakan anaknya hidup penuh perjuangan dan tak pernah
terlalu mengunggulkan jasa sang ayah. Karena itu, Haryati maupun Kartini tak
pernah menuntut hak sebagai pu

utra pahlawan kepada pemerintah

Pertempuran 5 Hari di Semarang


Salah satu fragmen perjuangan di Indonesia :

Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.

Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.

Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.

Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.

Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.

Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.

Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.

Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.

Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika mendengar berita ini langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Tetapi beliau tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang (namamya diabadikan menjadi RS di Semarang). Keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.

Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas (belakang bekas Pom Bensin Pandanaran). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.

Pertempuran 5 Hari di Semarang (bagian II)


Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.

Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.

Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.

Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.

Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota.

Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.

Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur.

Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan dilupakan.

Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.

Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 2000 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas.

Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.

Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang.

Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.

Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.

Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.

Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tammatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.

Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.

Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.

Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.

Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.

Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.

Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cipiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cipiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.

Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.

Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang, dan keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.

Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas (sekarang Akubank). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.

Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.

Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS dan di Gubernuran (bekas APDN). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.

Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.

Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.

Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota.

Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.

Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur.

Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan dilupakan.

Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.

Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 200 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas.

Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.

Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak Jepang.

Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.

Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.

Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.

Beberapa aspek strategis dalam perlawanan bersenjata, terlihat pada kegigihan rakyat Semarang beserta para pemudanya yang berperan dalam mematahkan kekuasaan Jepang dalam mempertahankan Kemerdekaan RI serta memberikan dukungan aktif bagi Pemerintahan Jawa Tengah yang berpusat di Semarang.

Aspek kepemimpinan yang menonjol, ialah sikap Mr Wongsonegoro, baik menghadapi pihak Jepang, maupun pihak BKR dan para pemudanya. Sedangkan aspek kejuangan yang menonjol ialah sikap patriotisme yang ditunjukkan dalam kesetiaan dan kesediaan dalam membela Negara dan Bangsa dengan aparat kekuasaannya serta kesadaran dan tanggungjawab dalam menjaga keamanan dan lingkungan. Pengabdian yang diberikan kepada Negara tanpa pamrih diberikan kepada Negara dan Tanah Air dengan tidak mengharapkan memperoleh penghargaan, balas jasa ataupun kedudukan.

Terbentuknya bermacam-macam organisasi bersenjata diawal Kemerdekaan adalah spontanitas pemuda pada waktu itu untuk mempertahankan Bangsa dan Tanah Air, tanpa perhitungan untuk memperoleh upah, pangkat dan jabatan. Yang mendorong mereka hanya semangat pengabdian untuk mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.(Penulis adalah pejuang ’45 dan mantan tawanan)

indosiar.com, Semarang – Salah satu tempat bersejarah di Semarang adalah Tugu Muda yang terletak di jantung kota. Tugu ini dibangun untuk mengenang perjuangan pemuda Semarang untuk mempertahankan kemerdekaan melawan Jepang yang dikenal dengan peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang.

Menyebut Tugu Muda, hampir pasti semua orang akan ingat sebuah tugu yang terletak di jantung kota Semarang. Sebagai monumen mengingat peristiwa heroik Pertempuran 5 Hari di Semarang, melawan tentara Jepang, 59 tahun yang silam.

Monumen Tugu Muda dibangun tepat dilokasi pertempuran sengit para Pemuda Semarang melawan Jepang, pada tanggal 14 hingga 18 Oktober 1945 selama 5 hari. Sebagai bukti mereka kala itu dengan Semangat Berani Mati mempertahankan kemerdekaan negara yang baru beberapa pekan di Proklamasikan di Jakarta.

Saat itu, 8 polisi istimewa yang menjadi tandon air di Wungkau diserang tentara Jepang. Para polisi ini ditangkap dilucuti dan disiksa di Markas Kidohutai, di Jati Ngaleh. Peristiwa ini memicu keberanian pemuda pemudi Semarang yang bahu membahu bersama Tentara BKR melakukan serangan balasan hinggga meletus pertempuran disekitar Gedung Melawan Sewu.

Bangunan bersejarah yang unik dan masih kokoh inilah, barang kali merupakan salah satu saksi bisu gugurnya pemuda dan pejuang Semarang putra terbaik bangsa kala itu. Keberanian para pejuang Semarang dan kebengisan tentara Jepang kala itu, sebagian tergambar dalam diorama yang diukir dibagian bawah Tugu Muda.

Sebagai sarana pendukung, untuk mengingat terjadinya Pertempuran 5 Hari Semarang, disebelah Tugu Muda juga berdiri kokoh bangunan museum milik Kodam IV Diponegoro yang mendokumentasikan peristiwa heroik keberanian pemuda Semarang melawan penjajahan Jepang.

Tinggalkan komentar